WAJO INTELEKTUAL MANDIRI

  • HIMPUNAN PELAJAR & MAHASISWA WIM (HIPERMAWIM)
  • PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) CAB. WAJO
  • APLIKASI KOMPUTER DAN KESEKRETARISAN (LIFE SKILL)

Nadir Sang penelusur Blog

Kamis, 31 Desember 2009

Sutera Sengkang

Produksi sarung sutera yang dalam bahasa Bugis-Makassarnya lipa sabbe, dipasok dari empat daerah masing-masing Majene, Polewali, Wajo dan Soppeng. Namun yang lebih terkenal baik dalam skala lokal maupun nasional, bahkan mancanegara adalah sarung sutera dari Kabupaten Wajo. Pasalnya, baik corak maupun kualitasnya memiliki keunggulan yang lebih dibanding produksi daerah lainnya.

Masyarakat Wajo yang terletak di pesisir Teluk Bone, telah mengembangkan tenun sutera secara turun-temurun. Tak mengherankan bila sutera menjadi slogan dan motivasi bagi masyarakat Wajo, yang berarti sejahtera, ulet, tenteram, ramah dan aman. Puncak kejayaan produksi sutera daerah ini dimulai sejak tahun 1970 hingga 1983.

Awalnya, tradisi tenun tersebut dikembangkan secara manual dan tradisional, namun kini sudah ada beberapa perajin sutera yang meninggalkan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), karena alasan mengejar produksi. Dari 14 kecamatan di Kabupaten Wajo, 10 kecamatan di antaranya seperti Kecamatan Tempe, Tanasitolo, Majauleng, Sabbangparu, Pammana, dan Sajoanging, sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari hasil usaha persuteraan.

Pasar Ekspor
Sutera tidak hanya dijual di daerah Sulawesi, tetapi juga banyak diminati kalangan industri tekstil dari Pulau Jawa dan Sumatra. Sedang pasar mancanegara yang dilayani selama ini melalui perantaraan Pemkab. Wajo, di antaranya Cina, Hong Kong, Malaysia, Taiwan dan Korea.
Satu unit usaha pertenunan kecil dan dan menengah di Kabupaten Wajo, mempekerjakan antara dua hingga 10 tenaga kerja tetap. Masing-masing pekerja biasanya mendapat upah antara Rp 2.000 – Rp 4.000/meter atau per lembar sarung.

Usaha sutera tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat Wajo, namun kendala yang dihadapi saat ini adalah kurangnya produksi benang sutera lokal, sehingga mereka terpaksa membeli benang impor dari Hong Kong dan Taiwan yang harganya dua kali lipat dari benang lokal.

“Kalau benang sutera lokal seharga Rp 150.000 - Rp 200.000 per kilo, maka benang impor bisa sampai Rp 300.000. Bahkan kalau barang benar-benar sedang langka, harganya mencapai Rp 400.000 per kilo.

Proses Pembuatan
Proses pembuatan kain sutera alam sendiri, umumnya memakan waktu selama sebulan, mulai dari pemintalan benang sampai menjadi sarung atau produk tenun lainnya. Benang dari ulat sutera setelah dipintal, direndam dalam air mendidih selama 15 menit hingga warnanya putih bersih. Hal itu dimaksudkan agar bulu-bulu benang menjadi rapat, menghilangkan kotoran benang sekaligus membuka serat benang.

Selanjutnya, benang itu dicelupkan ke cairan pewarna, sesuai warna yang diinginkan. Terkadang proses pencelupan harus dilakukan berulang-ulang dan mencampur-campur beberapa warna untuk mendapatkan hasil pewarnaan yang baik. Lalu benang yang sudah diwarnai itu, diangin-anginkan dan tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung.
Proses tersebut tidak berhenti sampai di situ, karena masih ada proses lanjutan yakni memberi kanji agar benang menjadi licin dan tidak berbulu saat ditenun. Belum lagi harus memasukkan helai-helai benang pada alat serupa sisir. Pengaturan ini biasanya harus dilakukan sedemikian rupa sesuai corak dan warna kain yang diinginkan. Setelah itu proses menenun yang sebenar-benarnya barulah dimulai.

Hasil tenun berupa sutera polos, biasanya dijual seharga Rp 45.000 hingga Rp 75.000 per meter. Sedangkan untuk yang bermotif, harganya lebih mahal. Untuk setelan, seperti setelan sarung, selendang dan baju, harganya mulai dari Rp 400.000 hingga jutaan. Sedang harga setelan jas, tentu lebih mahal lagi, karena biasanya benang untuk jas digandakan hingga empat kali.

Selembar sarung sutera bisa memberikan keuntungan bersih antara Rp 20.000 hingga ratusan ribu rupiah. Dengan rata-rata proses penenunan yang dilakukan per orang selama tiga hari untuk menghasilkan selembar sarung sutera, maka dalam sebulan bisa menghasilkan sepuluh lembar sarung khas daerah ini.

Dibanding dengan kain lainnya, kain sutera asli memiliki keunggulan tersendiri, karena bisa bertahan sampai puluhan tahun. Maka tidak salah, jika sarung sutera sering dijadikan cenderamata khas, khususnya bagi pejabat-pejabat di Sulsel saat menerima tamu penting baik dari dalam maupun luar negeri.

Tidak ada komentar: